-->

Potret-Potret Kota Banda Aceh di Era Kolonial Belanda

Peta Banda Aceh oleh Valentyn,  dari buku Oud en Nieuw Oost Indien 1724-1726
 yang mana 
Buku ini membahas mengenai kondisi Kepulauan Nusantara
pada kurang lebih abad ke-17 termasuk Aceh
Pada Tahun 1874 pecah Perang Aceh II yang berakhir pada tahun 1880. Tahun-tahun tersebut merupakan tahun paling bersejarah bagai rakyat Aceh. Karena tahun tersebut merupakan tahun jatuhnya Kesultanan Aceh, berikut adalah koleksi foto-foto yang sempat direkam oleh pihak Belanda ketika menjejakan kaki nya ke Banda Aceh.

Kuta Raja
Pada masa agresi Belanda kedua, terjadi evakuasi besar-besaran. Pasukan Aceh keluar dari Banda Aceh yang kemudian dirayakan oleh Van Swieten dengan memproklamasikan jatuhnya Kesultanan Aceh dan mengubah nama Banda Aceh menjadi Kuta Raja.


Pelabuhan Ulhee lheu
Pelabuhan Ulee Lheue, 1880 - 1881. Foto: 
Koleksi Tropen Museum, Belanda.
Pada awal tahun 1900-an, Pelabuhan Ulee Lheue yang oleh Belanda ditulis Oleh-leh- menjadi salah satu kawasan strategis. Dijadikan lokasi pendaratan pasukan. Pelabuhan ini sekaligus juga tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura selain juga kapal-kapal Belanda. Di sekitar pelabuhan, Belanda membangun kamp militer, pertokoan para pedagang Cina juga ada sekitar Ulee Lheue. Tak heran jika pelabuhan Ulee Lheue dan sekitarnya menjadi salah satu kawasan yang cukup sibuk kala itu.

Pada novel berjudul Und auf Erden Friede. Novel itu ditulis tahun 1904. Dan baru pada tahun 2002 novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dan Damai di Bumi oleh Gramedia. melukiskan Ulee Lheue seperti iniUlhee-leuh tidak besar, hampir semua bangunannya terbuat dari kayu. Rumah-rumah penduduk dibangun sedemikian rupa sehingga udara segar dapat berlalu lalang bebas namun memberi perlindungan yang cukup terhadap terpaan hujan tropis yang sangat deras. Sebuah dermaga lebar- terbuat dari papan-papan tebal dan kuat-menjorok jauh ke laut. Kapal-kapal besar tidak bisa merapat. Saat kapal-kapal penumpang tiba, di atas dermaga itu terjadi berbagai kesibukan dan hiruk pikuk luar biasa; pada kesempatan seperti itu bermacam-macam tipe manusia Sumatra dapat diamati. Tidak ada yang mengetahui bahwa kapal kami akan singgah; oleh sebab itu setiba kami tidak seperti biasanya hanya ada sedikit orang di dermaga. Sebelum turun dari kapal sudah diputuskan bahwa kami sama sekali tidak akan berlama-lama di pelabuhan; kami akan naik kereta api menuju Kota Radscha (Kutaraja; red). Sama seperti sebelum kami Waller, sedapat mungkin kami akan mencari tempat bermalam di Kratong (kawasan Kraton; red). Semua urusan yang harus diselesaikan dengan administrasi pelabuhan dipercayakan kepada Tom. Dengan sekoci kami berlayar ke dermaga. Setelah merapat pada dermaga kami disambut seorang petugas pelabuhan pertanyaannya yang pertama ialah apakah kami membawa senjata. Semua senjata harus diserahkan nanti pada saat akan kembali ke kapal, akan dikembalikan. Ketika itu kami hanya membawa pistol senapan akan menyusul, akan dibawakan sebentar lagi.Baca Juga :15 bangunan peninggalan kesultanan Aceh
Menelusuri Jejak Suku Aceh Bermata Biru
Mesjid Tertua di Aceh
Bekas Kerajaan Hindu-Budha di Aceh

Salah satu gudang logistik Belanda 
di Ulee Lheue sekitar tahun 1875 -1885. 
Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda


Kamp militer Belanda di Ulee Lheue, 1880.
 Foto: Koleksi Tropen Museum, Belanda
Wanita Belanda dan Sinyo 
di stasiun pelabuhan ulee lhue kuta raja (banda aceh) 1926
Salah satu rumah orang Belanda C.H.Japing di Ulee Lheue, 1922
Pasar di Ulee Lheue yang didominasi pedagang Cina,
sekitar tahun 1880 - 1881. 
Foto : Koleksi Tropen Museum, Belanda.












































Potret Jembatan Pante Pirak
jembatan pante pirak ini dibangun oleh Belanda untuk keperluan perlintasan kereta api di tahun 1890-an. kereta api yang melalui jembatan ini untuk mengangkut kebutuhan pasukan yang terletak di benteng Peunayong ( kira-kira lokasinya saat ini berada di pasar ikan Peunayong). jembatan awal hanya cukup untuk perlintasan kereta api, lalu diperbesar di tahun 1900 - an untuk dilewati kendaraan seperti sado dan sepeda. kereta api pada saat tersebut tidak lewat lagi di Atas jempatan tersebut. lalu di tahun 1930-an Jembatan tersebut diperbesar sekitar lebar 2-2,5 meter agar dapat dilewati oleh kendaraan (saat tersebut belanda sudah membawa peralatan kendaraan untuk para pekerja belanda).


foto jembatan Pante Pirak 
dilihat dari depan Kodam Iskandar Muda (saat ini)

















 jembatan pante pirak dengan latar belakang Gereja Katolik. 1933













Kherkoff Peutjuet
Kerkoff Peucut adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon, Madura dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia Belanda.















Benteng Peunayong
Setelah berhasil merebut Kuta Raja pada tahun 1874, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil langkah-langkah untuk memfungsikan kota Banda Aceh yang telah hancur akibat peperangan (Ismuha,1998:33). Langkah pertama adalah pembangunan struktur fisik atau tata ruang kota. Salah satunya adala benteng peunayong

benteng belanda
dalam tenda utama bivak peunayong

kemah panglima perang ke - 2 belanda





benteng meriam belanda di tepi sungai krueng aceh 
daerah peunayong





artilleri belanda





pemandangan ambulance belanda di bivak peunayong
pekera palang merah belanda





bivak artilery belanda di peunayong

Sebuah benteng tentara Belanda  1897

kompi artilleri belanda





Benteng Belanda di Peunayong

benteng mortir belanda di peunayong







Benteng Belanda di Peunayong (Benteng Barat Laut) 1874





Benteng Belanda di Peunayong (Sisi Depan Barat) 1874













pintu masuk istana sultan aceh

sisi depan barat dalam istana sultan aceh

Meriam-meriam Aceh 
di area Istana Kesultanan





kutaraja dari sisi depan utara

pemandangan di depan gerbang 
istana sultan aceh

sisi depan utara istana sultan aceh

kelompok perwira sayap kiri belanda 
diatas puing-puing istana sultan aceh


Marsose di Kraton Sultan, Kutaraja.


kediaman gubernur belanda





Pendopo Gubernur Hindia Belanda
Pendopo ini terletak di Kelurahan Peuniti, kecamatan Baiturrahman. Bangunan ini didirikkan pada tahun 1880 Untuk kelancaran administrasi pemerintahannya di daerah Aceh dan Daerah-Daerah Takluknya, pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah gedung dalam kompleks bekas kraton Aceh.dan saat ini bangunan di manfaatkan sebagai pendopo gubernur. secara keseluruhan bangunan ini mencerminkan perpaduan antara arsitektur lokal dan eropa. Bangunan ini di prakarsai oleh letnan Karel Van der Heijdeen, pada saat itu menjabat sebagai komandan militer dan sipil Belanda di Aceh tahun (1877-1881). Gedung ini pertama kali digunakan oleh jendral Van heijden pada tahun 1880 sebagai pendopo gubernur

foto sultan menghadap van heust di kantor gubernormen NL 
di kutaraja setelah beliau di tawan


Foto bersama yang diambil di rumah pemerintah di Kotaraja (Aceh) 
pada saat penaklukan sultan Aceh dan putranya



1881: Suasana di depan Kraton, 
Kutaraja (Banda Aceh)




























Taman Sari
Taman sari adalah salah satu taman tertua di Banda Aceh yang dibuat pada zaman kesultanan Iskandar Muda. Taman ini dikelilingi langsung oleh jalan, lalu diapit oleh barisan rumah-rumah colonial bekas menir-menir belanda tinggal. Namun sebagian besar rumah telah dialihfungsikan atau direnovasi baik fasad maupun bentuk, sehingga tidak ada lagi gambaran bentuk awal rumah tersebut. Namun ada beberapa rumah yang masih mempertahankan bentuk dan fasad aslinya, sehingga masih ada bayangan tetang bentuk dan fasad dari bangunan-bangunan rumah pada masa colonial Belanda.




potret taman sari antara 1900 dan 1940
Pintu masuk Taman sari di Koetaradja,
 Aceh antara 1900 dan 1940






































Masjid Raya Baiturrahman
Sewaktu Kerajaan Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada agresi tentara Belanda kedua pada Bulan Shafar 1290 Hijriah/10 April 1873 Masehi, Masjid Raya Baiturrahman dibakar. yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Tindakan Belanda yang membakar Masjid Raya Baiturrahman yang merupakan masjid kebanggaan milik Kesultanan Aceh Darussalam inilah yang membuat rakyat Aceh murka sehingga melakukan perlawanan yang semakin hebat untuk mengusir Belanda dari Kesultanan Aceh. Pembakaran Masjid Raya Baiturrahman yang dilakukan oleh pihak Belanda ini membuat salah seorang putri terbaik Aceh, Cut Nyak Dhien sangat marah dan berteriak dengan lantang tepat di depan Masjid Raya Baiturrahman yang sedang terbakar sambil membangkitkan semangat Jihad Fillsabilillah Bangsa Aceh.

“Wahai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu! Masjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala! Tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak kafir Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59). Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten dan sebagai permintaan maaf juga untuk meredam kemarahan rakyat Aceh maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala negeri disekitar Kota Banda Aceh. Di mana disimpulkan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100% beragama Islam. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Jenderal Karel Van Der Heijden selaku gubernur militer Aceh pada waktu itu dan tepat pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil.

Masjid Raya Baiturrahman ini selesai dibangun kembali pada tahun 1299 H dengan hanya memiliki satu kubah. Pada tahun 1935 M, Masjid Raya Baiturrahman diperluas bagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Perluasan ini dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (B.O.W) dengan biaya sebanyak F. 35.000,- (tiga puluh lima ribu gulden) dengan pimpinan proyek Ir. M. Thahir dan selesai dikerjakan pada akhir tahun 1936 M.

Masjid Raya Baiturrahman, 1897

















Rakyat Aceh berkumpul
 di pelataran Masjid Raya Baiturrahman


Kerajaan Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman 
pada saat Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat 
masih bertahta sebagai Sultan Aceh yang terakhir.

masjid raya dari arah krueng daroy














































Kelompok perwira Batalyon IX.







Tentara KNIL di makam sultan 
di Kota Goenoengan di Koetaradja selama ekspedisi Aceh kedua
Jalur Kereta Api




Rumah sakit baru, Koetaradja, Aceh 1880 - 1881

































Pada 26 Juni 1874 Gubernur Hindia Belanda Aceh dan daerah taklukannya memerintahkan untuk menghubungkan tempat demarkasi pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja dengan rel kereta api sepanjang 5 km dengan lebar spoor (rel) 1,067 meter. Kemudian pada 12 Agustus 1876 Jalan kereta api Ulee Lheue resmi dibuka untuk umum dengan menghabiskan biaya 540.000 golden. Selanjutnya tahun 1982 Transportasi kereta api di Aceh dengan nama Atjeh Tram (AT) masih sebagai sarana mengangkut peralatan militer dari pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaradaja – nama Banda Aceh saat itu. Gerbong-gerbong kereta Atjeh Tram saat itu didatangkan dari Jerman. Rel-rel kereta yang dibangun menyatukan jalur menuju benteng pertahanan Belanda yang satu dengan yang lainnya. Selain mengangkut serdadu dan logistik seperti kuda dan juga peralatan tempur lainnya, Belanda juga punya kepentingan untuk terus memperkuat pertahanannya dengan mengawasi seluruh kawasan yang dilintasinya. Jalur kereta api diteruskan hingga Gle Kameng-Indrapuri, namun hanya mampu mencapai Lambaro dengan alasan keamanan. Lebar spoor dikurangi menjadi 0,75 m dengan panjang 16 km. Tahun 1886 Dibuka jalur dari Kutaraja – Lamnyong, sebuah jalur dari Tongah ke Pekan Kr. Cut dan rumah sakit militer Pante Pirak. Jalur ini digunakan untuk membawa orang luka dan sakit dari pos militer ke luar Aceh. Kemudian pada 28 Januari 1889 sebuah granat diledakkan para pejuang Aceh di lintasan rel kereta api di kawasan Lamara yang menuju ke Lampenerut. Tak hanya itu, jembatan kemudian juga dibakar. Akibat kejadian ini, Belanda memutuskan untuk tidak menyambung rel kereta ke beberapa kawasan karena kerusakan yang berulang kali akibat serangan para pejuang Aceh. Alasan lain, para pekerja yang didatangkan dari Jawa dan juga para serdadu yang mengawasi pembangunan rel sering mendapat serangan dari para pejuang Aceh. Januari 1898 Jalur kereta api diperpanjang hingga mencapai Seulimuem sepanjang 18 km dan dimanfaatkan untuk lalu lintas umum. Tahun 1900 Gubernur Van Heutzs merencanakan perluasan jalur kereta api Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe. Biaya ditaksir untuk membangun jalur ini sebesar 3 juta golden, biaya terbesar untuk membuat lintasan di pegunungan yang sangat berat. 15 September 1903 Jalur Beureneuen – Lameulo sepanjang 5 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum. Tahun 1912 Pertemuan jalur kereta api lintasan Deli Pangkalan Berandan – Aceh dimulai. Jalur kereta api Langsa – Kuala Simpang resmi dibuka untuk umum Tahun 1916 ketika situasi di Aceh sudah mulai benar-benar dapat dikuasi Belanda, pengawasan kereta api tidak lagi di bawah kekuasaan militer, tapi sudah mulai ditangani pihak sipil. Seiring itu, nama Atjeh Tram kemudian berganti nama menjadi Atjeh Staats Spoorwegen (ASS). Singkatan ini kemudian diplesetkan pada zaman itu menjadi Asal Sampai Sadja (ASS).

Stasiun Kutaraja, 1895. Foto Koleksi Tropen Museum

Jembatan jalan raya dan rel kereta api di jembatan Peuniti Kuta Radja 
(Simpang Kodim Banda Aceh sekarang)


Wesel (percabangan) rel kereta api memasuki Dipo Kutaraja 
di Kraton Kuta Raja (Seakrang lkasi Markas Paldam Kodam IM Banda Aceh)
Perjalanan dengan troli (kereta) di jalur trem Aceh, Aceh


museum aceh 1920

gampong neusu



Kandang XII (Komplek Makam XII Sultan di Kutaraja
























































referensi :
https://www.tropenmuseum.nl/nl
https://paul02583.wordpress.com/tag/image-penjajah-belanda-di-aceh/
https://anarkidiri.files.wordpress.com/2012/02/foto-aceh-dalam-sejarah-76.jpg?w=700&h=
http://sekilasinfoaceh.blogspot.com/2013/02/foto-foto-aceh-tempo-dulu.html
https://forum.idws.id/threads/share-gambar-gambar-bersejarah-tentang-aceh.143971/
http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2014/11/perang-aceh-meriam-meriam-aceh-di-area.html
https://bandaacehkotamadani.wordpress.com/2012/09/12/monumen-kereta-api/
http://sentolo87jogja.blogspot.com/2013/11/foto-kereta-api-aceh-tempo-dulu-aceh.html

0 Response to "Potret-Potret Kota Banda Aceh di Era Kolonial Belanda"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel