Aceh, Bangsa Asia Tenggara Pertama yang Mengunjungi Benua Eropa
Ilustrasi Utusan Kesultanan Aceh Ke Belanda |
salah satu kerajaan Asia yang dihubungi para musafir niaga Belanda di Asia-Tanggara adalah Aceh, yang terletak di paling utara ujung Sumatera. Aceh adalah kerajaan Islam yang pada masa itu sudah memiliki hubungan dagang dengan India, Persia dan Turki. pada tahap awal hubungan antara Kesultanan Aceh dan Belanda banyak menghasilkan keuntungan. karena waktu itu kedatangan mereka disambut baik oleh Sultan Aceh. lagi pula untuk melindungi posisinya dikawasan itu dari Portugis, yang menjadi pesaingnya dan sering menghasut orang Aceh untuk untuk melawan Belanda.
Baca Juga :
sementara bagi kerajaan-kerajaan asia tenggara khususnya, negeri Belanda tak lebih dari satu faktor tambahan dalam politik Internasional masa itu, yang mungkin saja di manfaatkan sebagai sekutu dalam perjuangan melawan orang Portugis atau pesaing lainnya baik didalam waupun di luar negeri.
JAn de Vries pada majalah Eigen Haard (1896), antara lain menulis : "itulah perang Persaingan yang terjadi di Negeri Lada, dan orang Portugis berusaha sekuat tenaga mengusir pelaut-pelaut kita dan menggambarkannya pada para sultan dan raja Timur sebagai yang berbahaya dan tidak bisa dipercaya (...)". dan demikianlah para Pelaut perusahan-perusahaan dagang Belanda itu, pada awal petualangannya yang mengagumkan itu, oleh sultan Aceh misalnya mereka (Belanda) dikenal sebagai Bangsa perompak yang ditakuti, sebagai orang-orang yang tidak memiliki tanah air dan hidup diatas kapal mengembara dari pantai-kepantai dan dimana-mana mencari tempat untuk bermukin dan menjarah. sementara diluar orang Portugis dan Spanyol, katanya tidak ada orang kulit putih lainnya di Eropa".
ketika 2 bersaudara Cournelis dan Frederick de Houtman dengan kapal Leeuw dan kapal Leeuwin mendarat di Aceh pada tahun 1599, mulanya mereka diterima dengan ramah. namun keadaan berubah karena awak kapal membuat onar hingga terjadinya betrokan. dalam bentrokan itu Cornelis de Houtman Tewas sedangkan Frederick dan kawan-kawannya ditahan, mereka baru dibebaskan 2 tahun kemudian.
pada masa penawanan itu Frederick membuat buku kamus Melayu-Belanda pertama yang berjudul "Spraeck ende woord-boeck, diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1603.
Belanda memperbaiki Citra di Aceh
Keadaan berubah ketika awal Januari 1601, empat kapal belanda yaitu, Zeelandia, Middleboorgh, Sonne dan Langhe Barcke meninggalkan pelabuhan Zeeland menuju Aceh. kapal-kapal itu menjalani tugas misi diplomasi atas instruksi langsung dari Pangeran Maurice, disertai sepucuk surat darinya kepada Sultan Aceh yang ditulis dalam bahasa Spanyol. Juga disertakan sejumlah hadiah sebagai tanda persahabatan dengan Aceh.
kapal yang membawa misi Belanda sampai pada bulan agustus 1601, setelah mengarungi lautan selama 8 bulan. yang pertama tiba adalah kapal-kapal Zeelandia dan Langhe Barcke. Sultan berkenan menerima Audiensi dari Para diplomat Belanda tersebut . ia duduk pada takhta diatas punggung gajah putih disaksikan pembesar-pembesar kerajaan. ketika surat dari Pangeran Maurice diterimanya, berikut isi surat pangeran maurice kepada Sultan Aceh.
"Atas perintah saya dalam tahun 1598 telah bernagkat kapal niaga dari provinsi-provinsi ini (maksudnya Negeri Belanda Waktu itu berbentuk republik terdiri dari 7 provinsi), untuk berdagang dengan hindia timur dan pada tanggal 15 agustus (1600) kapal-kapal itu telah kembali lagi. para pedagang (di kapal itu) memberi laporan kepada saya menenai sambutan hangat dan sikap baik yang mereka alami dari pihak yang maha mulia sewaktu mereka sampai dikerajaan yang maha mulia. mereka mengatakan kepada saya bahwa karena sikap bersahabat yang mereka terima itu, mendorong mereka untuk meneruskan usaha-usaha dagang dengan setia dan sejujur-jujurnya yang telah menjadi tabiat dan kebiasaan bangsa belanda, tetapi orang-orang Portugis, rakyat raja Spayol dan musush negara ini, sewaktu mereka mendengan bahwa kapal-kapal kami berada dibawah pengawasan dan lindungan yang maha mulia, maka mereka menceritakan hal-hal yang tidak benar kepada yang mahamulia dengan mengatakan bahwa para pelaut kami adalah perampok yang datang untuk merampok rakyat dan negeri yang maha mulia, dan akibatnya yang maha mulia memenjarakan Ferederick de Houtman, pemimpin salah satu kapl tadi beserta beberapa pelaut lainnya. ini semuanya membuat saya sedih. tetapi saya percaya kepada kebaikan hati yang maha mulia untuk memerintahkan agar mereka dijaga dengan baik seperti halnya mereka yang telah kembali ke sini dari kerajaan yang maha mulia dalam ke adaan bebas, saya percaya bahwa mereka yang sekarang masih di tahan, juga akan diberikan kebebasan dan kembali lagi kesini. mereka juga menceritakan kepada saya tentang perang yang dilakukan oleh orang-orang Portugis di negeri yang maha mulia atas perintah raja spanyol dan berusaha untuk merampas kemerdekaan penduduk yang mulia agar dijadikan oleh mereka budak seperti yang mereka telah coba jalankan di negeri kami selama lebih dari tiga puluh tahun. tetapi tuhan tidak mengizinkan yang demikian. sebaliknya kami mempertahankan diri sekuat tenaga dengan senjata dan akan menjalankan demikian untuk seterusnya. oleh karena itu saya berharap agar yang mulia jangan sekali-sekali mempercayai orang Potugis, dan agar mulai dari saat ini yang mulia tidak mempunyai alasan lagi untuk mencurigai orang-orang yang berangkat dari sini ke negeri yang maha muliauntuk berdagang. oleh karena itu saya memerintahkan dan memberi kuasa pada yang menyampaikan surat ini, yakni ke-4 nakhkoda Cornelis Bastiaanse, Jan Touneman, Matthijs Antonisse, dan Cornelis Andriaansz. dan kepada 4 petuga yang bernama Gerard de Roy, Laurens Begger (bicker), Jan JAcobsz dan Nicholas Van der Lee. bahwa mereka akan berangkat dengan 4 kapal atas nama saya untuk membicarakan dengan Yang Mahamuliabeserta rakyat Yang Mahamulia mengenai bantuan yang dibutuhkan melawan musuh-musuh Yang Mahamulia. Untuk itu mereka akan mendapat perintah maupun kuasa dari saya. Selain itu saya juga menguasakan mereka mempersembahkan kepada Yang Mahamulia beberapa pemberian menurut kebiasaan negeri di sini, sebagai tanda persahabatan yang saya ingini antara Yang Mahamulia dengan saya, agar Yang Mahamulia diberkati dan agar negeri Yang Mahamulia menjadi lebih luas. Mencium tangan Yang Mahamulia, Dari hamba,Maurice de Nassau".(Terjemahan dari Het Genootschap aan de Sultan van Aceh anno 1602) .
Kapal-kapal tersebut tiba di Aceh pada bulan Juni dan Agustus 1601. Pada 23 Agustus di persembahkan surat itu kepada Sultan Alaudin Riya’at Shah. Selain surat, misi diplomasi Belanda juga menyerahkan beberapa hadiah lainnya, antara lain berupa seribu keping “Real emas, beberapa senjata bersepuh emas, cermin, dll.” Sultan membubuhkan capnya dan surat dikembalikan lagi sebagai surat kepercayaan Setelah peristiwa itu, keadaan menjadi berbalik dan Sultan dengan senang hati menerima misi Belanda, keadaan pun menjadi pulih kembali. Untuk itu Sultan mengizinkan Belanda mendirikan benteng untuk menghadapi serangan Portugis di Aceh. Frederick de Houtman dan tawanan lainnya dibebaskan.
Utusan Raja Aceh berkunjung ke Negeri Belanda Sultan kemudian memutuskan mengirim utusan ke Negeri Belanda guna menyampaikan sejumlah hadiah balasan dan mencari keterangan keadaan Negeri Belanda. Para utusan juga harus mengamati pandangan kebenaran seperti ditulis Emanuel dan Meteren yang hidup pada zaman itu dalam bukunya, Historie der Nederlandscher ende haerder Naburen Oorlogen en de Geschiedenissen (Sejarah Perang yang Dilakukan Belanda dan Tetangganya Berikut Sejarah Mereka). Van Meteren antara lain menulis: “Bahwa tidak ada orang putih di luar para kawula Raja Spanyol dan Portugal. Itu sebabnya orang Aceh menganggap diri kita sebagai perompak, sebelum mereka mendapat keterangan yang lebih baik tentang pandangan yang menyesatkan itu.”
Utusan Aceh dipimpin oleh perwira tinggi Angktan Laut Aceh, Laksamana Sri Muhammad didampingi kemenakannya, Tengku Meras San dan Tengku Abdul Hamid atau Abdul Zamat di tunjuk menjadi duta besar Aceh di Belanda, Mir Hasan, seorang diplomat dan negarawan Aceh, Wizarah Badlul Muluk. Rombongan didampingi lima pembantu dan jurubahasa, Leonard Werner dari Belgia yang berangkat pada bulan Januari dan tiba pada akhir Juli 1602.
Mereka menumpang kapal Zeelandia dan Langhe Barcke didampingi lima orang pembantu dan seorang juru bahasa (orang Luxemburg bernama Leonard Werner, yang di panggil Pusque Camis, pelaut dari kapal Leeuw dan Leeuwin yang ikut ditahan bersama Frederick de Houtman). Juga terdapat sejumlah pedagang Arab. Kapal-kapal rombongan sempata dicegat oleh kapal Portugis "San Jabo", dilepas pantai Tanjung Harapan hingga terjadi pertempuran laut. Pasukan kawal dan perwira Aceh ikut terlibat dalam pertempuran ini. Kapal "San Jabo" dapat dikalahkan dan barang-barang di dalamnya disita dan dibawa ke Belanda. Pada tanggal 20 Juli 1602, Kapal Belanda tiba dengan selamat di Zeeland.
Ketika delegasi Aceh tiba di Belanda, Pangeran Maurice berada di markas perangnya di sebuah desa bernama Grave. Menurut Dr. Wap dalam bukunya Het Gezantschap van den Sultan Aceh, pada 10 Agustus 1602 karena pertukaran udara, Abdul Zamat meninggal pada 9 Agustus 1602 di Middelburg pada usia 71 tahun. dikebumikan pada 11 Agustus 1602, di St. Pieter di kota Middelburg. Sebagai Dutabesar, ia dimakamkan dan diberi kehormatan kenegaraan: Di batu nisan tertulis Abdul Hamid Perutusan itu tiba di Zeeland akhir Juli 1602. . “Sesuai dengan statusnya sebagai Duta besar, ia dimakamkan sebagai negarawan dengan segala kebesaran dengan iringan pembesar dan penguasa Zeeland. Pemakaman dilakukan mengikuti Sya’riat Islam, bertempat di Gereja Sint Pieters. Upacara berjalan hikmat, dan sebagai kehormatan terakhir, Middelburg dan Vlissingen menjadi kosong, karena penduduk berlimpah ruah menyaksikan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis van Meteren. Pada makam itu di dirikan batu nisan oleh direksi VOC dengan tulisan: HIC SITUS EST ABDUL ZAMATPRINCEPS LEGATIONIS A REGE TAPROBANE SEU SUMATRAE SOLTAN ALCIDEN RAIETZA LILLIO LAHE PELALAM AD ILLUSTRIS PRINCIP. MAURITIUM MISSAE. CUM DUAB NAVIB ZELAND QUAE IN DEDIT ACCEPTER. LIBURNICAM LUSITANAM VIXIT AN LXXI OBIT ANNO CI)I)CII. MAGISTRI SOCIETATIS INICAE. H.M.P.C.
Menyaksikan Perang Kemerdekaan Belanda melawan Penjajahan Spanyol Selama berada di Eropa, utusan Aceh waktu itu berada di tengah peperangan dengan aksi pemberontakan daerah-daerah Belanda terhadap penjajahan Spanyol. Republik Belanda ketika itu sedang berada dalam perang kemerdekaan selama 80 tahun melawan Spanyol. Waktu itu, Pangeran Maurits sedang mengepung kota Grave, dan dari tempat itulah perutusan Aceh bertolak dari Middelburg. Di tempat itu mereka diterima dengan segala kehormatan. Pangeran Maurits mengirim kereta pribadinya yang di kawal serombongan prajurit penunggang kuda untuk menjemput perutusan. Sesudah acara santap makan, mereka diterima dalam suatu audiensi kenegaraan. Pada pertemuan itu, Pangeran Maurits di dampingi sejumlah besar pejabat penting seperti mark-graaf Brandenburg-Anspach, land-graaf Philips van Hessen dan Lodewijk Gunther van Nassau.
Di antara yang hadir, jonkheer Frederich Vervou, menuturkan penampilan para utusan itu: “Dilihat kulitnya orang-orang ini seperti orang Moor kuning; mereka mengenakan rok panjang sampai bawah lutut, dengan rok sutra putih di atas rok pertama dan belati di pinggang. Kepalanya tak tertutup apapun, tetapi terlilit kain katun, mirip karangan bunga yang membelit di kepala, sehingga rambutnya tampak menyembul di atas kain itu. Kain itu tak dilepaskan dari kepala sebagaiman kita melepas topi kita, tapi untuk menghormat mereka lekapkan kedua tangan itu di angkat tinggi-tinggi –makin tinggi tangan di angkat, di anggap makin tinggi juga kehormatan itu.” Vervou selanjutnya berbicara mengenai “ketiga orang Utusan Hindia,” yang di tampilkan pada lukisan karya Mari ten Kate; dari lukisan itu dibuat gravir oleh W Steelink. Saat itu Seri Mahomat bertindak sebagai jurubicara perutusan kepada Pangeran Maurits menggantikan posisi Abdul Zamat yang meninggal.
Seri Mahomat menyampaikan kepada Pangeran Maurits dua pucak surat dari Sultan Aceh beserta sejumlah hadiah: “Sebilah rencong yang panjangnya sekitar setengah elo, dengan septentin atau bilah yang mengombak; gagangnya berlapis campuran emas dan tembaga (suasa) yang di negeri itu sangat disukai, dan bertatahkan batu delima; adapun sarungnya. Selain itu ia serahkan sebuah kayu bola, yang seperti piramida terbuka ke satu sisi; di dalam bola itu terdapat sekitar tiga cawan berisi cairan; juga sebuah piring emas dengan cangkir atau piala dari emas juga. Di dalam cangkir itu terdapat sekitar 2 pon kamper dari Borneo (pulau di kawasan itu; di daerah itu satu pon kamper harganya seratus dukat.” Hadiah lain yang tak disebutkan dalam daftar itu adalah seekor kakatua merah, yang menurut cerita dapat berbicara bahasa Arab. Orang-orang Aceh itu juga diberi kesempatan menyaksikan adegan perang dari dekat.
Mereka diantar berkeliling perkemahan. Seri Mahomat diberi kesempatan menembakkan dua “peluru meriam ke arah kota.” Juga dipentaskan satu pertarungan: “Untuk menghormati mereka, pada 6 September sejumlah 16 kornet pasukan berkuda harus berperang-perangan dengan pistol dan senjata pendek dihadapan satu pasukan. Pertarungan kadang-kadang berjalan seru seakan pertarungan sungguhan, hingga baju zira porak-poranda. Kesemua adegan itu menyenangkan orang-orang Hindia tersebut.” Sesudah beberapa hari tinggal di kemah dan di lepas secara meriah seperti pada waktu penyambutan, para utusan berangkat ke Amsterdam. Secara keseluruhan, utusan Aceh berada di Negeri Belanda selama 15 bulan, dengan beaya dari VOC, dengan mengunjungi sejumlah kota. Dalam perjalanan itu “tiap kali mereka menyatakan kekagumannya atas kebersihan, ketertiban, dan ketenteraman tempat yang mereka kunjungi.”
Upacara kenegaraan ini mendapat perhatian ribuan orang Belanda Pemakaman dilakukan mengikuti syariat Islam bertempat di gereja Sint Pieter dalam upacara khidmat. Waktu itu Middelbburg maupun Vlissingen menjadi kosong. Karena penduduk menghadiri dan menyaksikan pemakaman yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebab mengikuti pemakaman orang Aceh yang merupakan suku-bangsa Asia-Tenggara pertama Pada bulan Desember 1603, utusan Aceh ini pulang dengan kapal Delft, dan berada di Aceh setahun kemudian. Kunjungan perutusan Aceh ke Negeri Belanda itu merupakan kunjungan khusus pada masa peralihan Republik Belanda waktu itu.
Di Asia, Belanda waktu itu belum membangun basis kekuatannya, dan masih berjuang sebagai bangsa. Untuk itu sikap bijak negeri-negeri lain dimanfaatkan dengan baik. H Mohammad Said pada bukunya, Aceh, Sepanjang Abad (1981), mengutip buku Multatuli yang pada 1872 (masa Perang Aceh) mengingatkan bahwa Aceh adalah negeri pertama yang mengakui Belanda sebagai bangsa yang merdeka.
Tahun-tahun terakhir di abad ke-16, Negeri Belanda belum dapat mengandalkan kekuatan meriamnya semata untuk merebut tempat di pasar rempah-rempah Asia; ia masih harus merendah hati mendekati kesultanan Aceh untuk memperoleh rempah-rempah dan produk-produk Indonesia lainnya. Tidak terbayang sebelumnya bahwa dua setengah abad kemudian, keadaan berubah dan Belanda justru tidak mengakui kedaulatan kesultanan Aceh, dan berusaha untuk mencaplok Aceh untuk menjadi bagian dari kolonialisme Hindia-Belanda, sebagai imperium terbesar Belanda di Asia-Tenggara. (Sumber-sumber dari buku Mengindonesiakan Indonesia oleh Harry Kawilarang)
Foto: Setelah masa berkabung atas kematian Tengku Abdul Hamid, delegasi Aceh di pimpin Laksamana Sri Muhammad menghadap Pangeran Maurice di markas besarnya pada 1 September 1602.
Utusan Aceh menyaksikan Perang 80 tahun Belanda-Spanyol di medan perang di Belanda pada 1602. atas undangan Pangeran Maurice(copas dr Harry kawilarang)
Referensi : AtjehGaleri "Aceh, Bangsa Asia Tenggara Pertama yang Mengunjungi Benua Eropa"https://www.instagram.com/p/BshFfiSBvyF.
Nice information keep up the good work
ReplyDelete