Suku Alas Dan Aceh Tenggara dalam Lintasan Sejarah
Sejarah Aceh Tenggara
Mesjid Takwa di kutacane |
Hal tersebut dikarenakan masyarakat Aceh Tenggara telah lama hidup berdampingan satu sama lain terutama suku Alas yang merupakan mayoritas disana merupakan suku yang berasal dari beberapa campuran suku-suku lainnya. Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di Tanah Alas, maka jelas tidak ada satu orangpun orang Alas yang berdiri sendiri secara independen ibarat tumbuhnya jamur dimusim hujan. Oleh karena itu etnis Alas sejak dahulu hingga sekarang adalah pendatang.Namun kedatangan mereka ada yang lebih awal hadir, yang datang kemudian, dan ada yang baru hadir dan bermukim di Tanah Alas.
ACEH TENGGARA MULAI TERCATAT DALAM SEJARAH
Hal ini dapat diketahui dari catatan Iwabuchi (1994:10) yang mengatakan bahwa Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas (Aceh Tenggara), terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING, keturunan dari Raja Pandiangan di Tanah Batak. Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim. Diperkirakan bahwa Raja Lambing hijrah dari tanah Batak ke Tanah alas sekitar abad ke 12. Mereka kemudian menciptakan sebuah sistem kerajaan di Tanah Alas atau Aceh Tenggara saat ini.
Suku Alas dan Suku Batak |
Setelah memerintah beberapa lama Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur (Pasai). untuk mempercepat proses pengislaman Rakyat Alas pada tahun 1325, Raja Dewa dan Raja Lembing membuat suatu prasasti di daerah Desa Mbatu Bulan sekarang. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. di mana Raja Dewa akan menikahi putri sulung dari Raja lembing dan Raja lembing akan memberikan takhta kerajaan mbatu bulan ke Raja Dewa. Ada hal yang menarik dari cerita putra Raja lembing(Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam). Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Disebabkan ketika Raja Dewa ( ayahnya Raja Alas)saat itu masih memegang budaya matrealistik dari minang kabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan marga pihak ibu yaitu Selian. Adapun Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas.
pengaruh yang diterima dari luar oleh suku Alas |
Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul
lagi kerajaan lain yang di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi
Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal
kehadiranya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA DEWA
yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang diperkirakan pertama sekali datang ke
Tanah Alas pada pertengahan abad ke 13 yang lalu. Raja Sekedang itu diketahui
bernama Nazaruddin atau lebih dikenal dengan panggilan DATUK RAMBUT yang datang
dari Pasai.
Baca Juga :
Masjid Penampaan Gayo Lues Masjid Tertua di Aceh Darussalam
15 bangunan peninggalan zaman kerajaan Aceh
Jejak-Jejak Raja Keturunan Bugis di Aceh
Menelusuri Jejak Suku Aceh Bermata Biru
Baca Juga :
Masjid Penampaan Gayo Lues Masjid Tertua di Aceh Darussalam
15 bangunan peninggalan zaman kerajaan Aceh
Jejak-Jejak Raja Keturunan Bugis di Aceh
Menelusuri Jejak Suku Aceh Bermata Biru
Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan marga Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo. Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat. Selain suku-suku tersebut ada beberapa suku lagi yang kemudian datang ke Aceh Tenggara pada masa Kolonial Belanda.
ACEH TENGGARA PADA
ZAMAN KERAJAAN ACEH
Pada tahun 1511, kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Pantai Barat dan Timur Aceh diintegrasikan menjadi satu kerajaan besar, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam, beribukota di Banda Aceh Darussalam dengan rajanya Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. Integrasi kerajaan-kerajaan ini semula dimaksudkan sebagai upaya menyatukan kekuatan dalam rangka melawan Portugis yang hendak menyerang Aceh dalam usaha mereka menguasai Malaka.
Pada tahun 1511, kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Pantai Barat dan Timur Aceh diintegrasikan menjadi satu kerajaan besar, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam, beribukota di Banda Aceh Darussalam dengan rajanya Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. Integrasi kerajaan-kerajaan ini semula dimaksudkan sebagai upaya menyatukan kekuatan dalam rangka melawan Portugis yang hendak menyerang Aceh dalam usaha mereka menguasai Malaka.
Peta Kerajaan Aceh |
Keturunan Raja Dewa adalah Raja kemala (Raja Alas) yang telah menghadap Sultan Aceh dan
mendapat pengakuan kekuasaan untuk memerintah Tanah Alas, atas pengakuan ini
Sultan Aceh memberi tanda kedaulatan berupa sembilan pisau yang disebut bawar,
serta dilantik sebagai Kejerun Alas dan menerima surat keputusan sarakata yang
dibubuhi stempel sikureng.
Raja Bambel
a. Nazaruddin (datuk Rambat) berasal dari Aceh (Pase) menuju Tanah Alas dan diangkat menjadi Raja wilayah bambel oleh Raja kemala (Raja Alas). Setelah wafat digantikan oleh Raja tunggal Alas kemudian Raja T. Bedussamad b. Raja T. Bedussamad lahir tahun 1863 di Tanah Alas yang telah menghadap Sultan Aceh dan mendapat pengakuan kekuasaan di wilayah Tanah Alas dan dilantik sebagai Kejerun bambel. Raja T. Bedussamad membawa 100 orang ke Gayo luas untuk memerangi Belanda dan wafat pada tanggal 14 April 1904 ditembak oleh Van Daleen saat melaksanakan shalat subuh di mesjid penampaan, Gayo Lues.
a. Nazaruddin (datuk Rambat) berasal dari Aceh (Pase) menuju Tanah Alas dan diangkat menjadi Raja wilayah bambel oleh Raja kemala (Raja Alas). Setelah wafat digantikan oleh Raja tunggal Alas kemudian Raja T. Bedussamad b. Raja T. Bedussamad lahir tahun 1863 di Tanah Alas yang telah menghadap Sultan Aceh dan mendapat pengakuan kekuasaan di wilayah Tanah Alas dan dilantik sebagai Kejerun bambel. Raja T. Bedussamad membawa 100 orang ke Gayo luas untuk memerangi Belanda dan wafat pada tanggal 14 April 1904 ditembak oleh Van Daleen saat melaksanakan shalat subuh di mesjid penampaan, Gayo Lues.
Setelah pasukan Belanda telah menguasai seluruh wilayah Gayo lut, Gayo linge dan Gayo lues, mereka merencankan penyerangan ke wilayah Alas. Perlawanan pertama masyarakat Alas terhadap Belanda terjadi pada 10 April 1904 dari Desa salang Alas. Setelah itu berlanjut ke Benteng Kuta Rih. Dimana saat itu terjadi Pembantaian di Kuta Reh terjadi pada 14 Juni 1904. Kebrutalan ini menyebabkan 2.922 warga sipil merenggang nyawa, terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan. Tapi, menurut catatan Kempes dan Zentgraaff, masyarakat yang menjadi korban pembantaian itu mencapai 4.000 orang. Setelah jatuhnya Benteng kutarih, Benteng kute likat dan Benteng lengat baru maka secara militer seluruh Tanah Alas telah dikuasai Belanda. Dalam suatu perteuan pada tanggal 28 juni 1904 Belanda mengumumkan keputusanya kepada Raja dan pengulu mengenai masa depan Tanah Alas dibawah kekuasaan Belanda.
ACEH TENGGARA PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA 1904-1914
Setelah penaklukan Aceh Tenggara. pada tahun 1908; pertamanya Belanda masuk ke Kutacane, ketika itu Kutacane masih merupakan sebuah desa kecil bernama Pasir Gala dan Pemerintah Belanda sendiri bertempat tinggal di Kutarih. Tahun 1920 dengan pertimbangan tertentu oleh Pemerintah Belanda, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pasir Gala, oleh pendatang dan penduduk mulai mendirikan rumah dan warung-warung di sekitar pusat pemerintahan Belanda [yang baru] ini; akhirnya menjadi sebuah kota kecil yang disebut Kutacane. [Pusat Pemerintah Belanda di Kutarih kemudian dinamakan sebagai Kutacane Lama]Untuk memudahkan mobilitas hasil bumi dan kekayaan alam yang mereka eksplorasi sangat diutamakannya. Akses transportasi yang dimaksud meliputi pembangunan jalan baru dari Sumatera Timur ke Tanah Alas (1909-1914).
Setelah penaklukan Aceh Tenggara. pada tahun 1908; pertamanya Belanda masuk ke Kutacane, ketika itu Kutacane masih merupakan sebuah desa kecil bernama Pasir Gala dan Pemerintah Belanda sendiri bertempat tinggal di Kutarih. Tahun 1920 dengan pertimbangan tertentu oleh Pemerintah Belanda, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pasir Gala, oleh pendatang dan penduduk mulai mendirikan rumah dan warung-warung di sekitar pusat pemerintahan Belanda [yang baru] ini; akhirnya menjadi sebuah kota kecil yang disebut Kutacane. [Pusat Pemerintah Belanda di Kutarih kemudian dinamakan sebagai Kutacane Lama]Untuk memudahkan mobilitas hasil bumi dan kekayaan alam yang mereka eksplorasi sangat diutamakannya. Akses transportasi yang dimaksud meliputi pembangunan jalan baru dari Sumatera Timur ke Tanah Alas (1909-1914).
Salah satu rumah peninggalan Belanda di Aceh Tenggara |
Sehingga memudahkan migrasi antar suku berikutnya, antara lain Melayu Deli dari Sumatera Timur, Batak Toba dari Samosir dan sekitarnya. Termasuk dari Angkola, Sipirok, Batak Timur Raya, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Singkil dan lain-lain (Gayo, 1983). Disamping sebagai serdadu Nica Belanda, banyak pekerja dan buruh membuka jalan dibawa dari Jawa, Menado, Batak Toba, dll, sampai saat ini telah berketurunan di Aceh Tenggara.
ACEH TENGGARA SETELAH
MERDEKA
Sebelumnya kabupaten Aceh Tenggara sendiri merupakan pemekaran dari kabupaten Aceh Tengah disebabkan jarak yang terlalu jauh dari ibukota kabupaten saat itu yang berada di Takengon sehingga menyulitkan masyarakat baik dari Aceh Tenggara, maupun dari Gayo Lues. Sehingga pada tgl 06 Desember 1957 terbentuk panitia tuntutan rakyat Alas dan Gayo Lues melalui sebuah rapat di sekolah Min prapat hulu yg di hadiri oleh 60 pemuka adat Alas dan Gayo lues, dan hasilnya adalah. :
1) Ibukota Aceh tengah di pindahkan dari Takengon ke kutacane.
2) jika tidak memungkinkan memindahkan ibukota ke Kutacane, maka kewedanan Alas dan gayo lues di jadikan satu kabupaten yg tidak terlepas dari Provinsi Aceh. Atas tuntutan itu diadakanlah rapat raksasa pada tanggal 18 Desember 1957 dengan ketua terpilih T. Syamsuddin di Kutacane yg di hadiri lebih dari 200.000 orang untuk menyatakan sikap mendukung pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara. Kemudian Pada tahun 1974, setelah berjuang selama 17 tahun sejak tahun 1956, Pemerintah akhirnya menerbitkan UU No. 4/1974 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara dan peresmiannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud pada tanggal 26 Juni 1974 dalam suatu acara yang khidmat di Kutacane. Pada hari itu juga Gubernur Daerah Istimewa Aceh A. Muzakkir Walad melantik Syahadat sebagai Pejabat Bupati Kabupaten Aceh Tenggara. Pada tanggal 24 Juli 1975 Syahadat secara definitif diangkat sebagai Bupati Aceh Tenggara yang pertama.
Sumber
referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Tenggara
Thalib
Akbar, M.Sc. SEKRETARIS MAJELIS ADAT ACEH (MAA). Kabupaten Aceh Tenggara.
(http://www.wacana.co/2013/01/suku-alas/)
http://www.julfahmisalim.com/2015/03/sejarah-tanah-alas.html
http://lintasgayo.co/2016/03/09/sejarah-perjalanan-lahirnya-kabupaten-gayo-lues
0 Response to " Suku Alas Dan Aceh Tenggara dalam Lintasan Sejarah "
Post a Comment